Author : Wahyu SaNedaTidak ada komentar
engertian Dan Penjelasan Ilmu Laduni
– Pernahkah Anda melihat atau mendengar dari cerita orang bahwa ada
orang yang punya kemampuan atau skill tertentu tanpa belajar sebelumnya?
Dan tanpa mempunyai guru? Itulah penjelasan singkat dan pemahaman orang
selama ini tentang ilmu laduni. Namun bagaimanakah penjelasan Islam tentang ilmu aduni ini? Apakah ada dalilnya? Berikut pengertian dan penjelasan ilmu laduni oleh Ustadz Ahmad Dairobi dari ponpes Sidogiri – Jawa timur.
Sesungguhnya
di antara ilmu pengetahuan ada yang seperti barang simpanan. Tidak ada
yang mengetahuinya kecuali orang ahli makrifat kepada Allah. Jika mereka
mengucapkan ilmu tersebut, maka mereka yang mengingkari hanyalah orang
yang tertipu mengenai Allah. (HR ad-Dailami dalam Musnadil-Firdaus).
Meskipun ini hadis dhaif, namun
menurut Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumairi setidaknya memiliki
dua dalil sahih yang menjadi penguat. Yang pertama adalah hadis Abu
Hurairah, beliau berkata, “Aku menghafal dua wadah ilmu dari Rasulullah.
Yang satu aku sebarkan. Sedangkan yang lain, jika aku sebarkan maka
tenggorokan ini akan diputus (dipenggal).”
Penguat
kedua adalah fakta yang benar-benar terjadi. “Kenyataannya orang-orang
sufi memang mendapatkan ilmu wahbi dari Allah. Dan, yang mengingkari hal
itu hanyalah orang-orang dangkal yang tertipu,” kata al-Ghumari. Ilmu
wahbi inilah yang dalam sebuah Hadis disebut sebagai bisikan ilham.
Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah umat sebelum kalian, ada beberapa
orang yang mendapatkan bisikan ilham. Jika didalam umatku ada seorang
yang mendapatkan itu, maka dialah Umar.”
Hikmah
banyaknya orang-orang Bani Israil yang mendapat ilham adalah karena
mereka dibutuhkan oleh kaumnya ketika sedang tidak ada nabi yang diutus
ditengah-tengah mereka. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad, sandaran
kepada ilham itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab, kendatipun Nabi
Muhammad sudah meninggal dunia, namun al-Quran dan Hadis sebagai sumber
utama syariat tetap terjaga dengan sangat baik.
Itulah
sebabnya pada masa Sahabat, cukup jarang diantara mereka orang yang
mendapatkan ilham, kendatipun mereka adalah para wali Allah yang paling
tinggi, ahli mujahadah dan ahli istikamah. Penyebabnya, karena pada saat
itu, sandaran umat kepada al-Quran dan sunnah sangatlah kokoh, sehingga
ilham memiliki peranan yang sangat kecil.
Berbeda halnya dengan masa-masa setelah itu. Banyak sekali kisah tokoh-tokoh sufi yang mendapatkan ilham. Lalu,
ilham tersebut menjadi landasan dari bangunan tarekat yang nereka tata sedikit demi sedikit.
ilham tersebut menjadi landasan dari bangunan tarekat yang nereka tata sedikit demi sedikit.
Oleh
karena itu, ketika menelaah kitab-kitab tasawuf yang berbicara mengenai
tahapan-tahapan suluk, sangat sering ditemukan panduan dalam menyikapi
waridât atau bisikan-bisikan yang menerpa hati salik. Sebab, jika salik
tidak memiliki bekal ilmu syariat yang mapan, maka sangat mungkin dia
akan tertipu dengan bisikan yang datang. Dia mengira bisikan itu sebagai
ilham, tapi ternyata hanyalah tipuan yang dihembuskan oleh setan.
Inilah
yang menyebabkan munculnya beberapa oknum sufi yang menyimpang dari
syariat. Atau, bahkan kadangkala terdapat oknum tarekat yang sampai
mengaku mendapatkan wahyu, dan menobatkan dirinya sejajar dengan para
nabi. Naudzubillah min dzalik.
Kalau
ada wârid atau bisikan semacam ilham maka harus dirujuk kepada al-Quran
dan Sunnah, atau syariat. Jika sesuai, maka bisa di-follow up. Jika
tidak sesuai, berarti bisikan setan. Oleh karena itu, mayoritas ulama
menyatakan bahwa ilham tidak bisa dijadikan landasan hukum, sebab
penerimanya bukanlah orang yang maksum. Selain itu, sulit
sekali menetapkan kriteria tentang mana yang benar-benar ilham, dan mana
pula yang merupakan bisikan dari setan. Menurut as-Suhrawadi, pakar
fikih madzhab Syafi’I yang sekaligus merupakan tokoh sufi terkemuka,
ilham merupakan hujjah (landasan dan lapangan) bagi orang yang
mendapatkannya, tidak bagi orang lain.
Wârid,
kata Syekh Mahmud Abu asy-Samat, adalah kendaraan pembawa ilmu ladunni,
dan wârid, tegas beliau, merupakan buah dari wirid. Menurut Abu Thalib
al-Makki, konseptor sufi yang menjadi rujukan utama Imam al-Ghazali
dalam penyusunan Ihya’ Ulumiddin, wirid adalah waktu khusus yang
digunakan secara istikamah oleh seseorang untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi,
mengenai apa hakikat wirid, Abu Thalib al-Makki lebih menekankan kepada
aspek keistikamahan, dari pada bentuk wirid yang dilakukan.
Keistikamahan inilah yang membedakan antara orang yang sudah matang, dan
orang yang masih tingkat pemula. Orang yang sudah matang dalam
suluknya, dia memposisikan wirid sebagai sebuah kebutuhan yang tidak
mungkin ia tinggalkan. Hal ini sangat ampuh dalam menancapkan kemapanan
spiritual secara permanen dalam batin seseorang. Sebanyak apapun ibadah
atau amalan jika hanya dilakukan sesekali saja, maka nyaris
tidak memberikan pengaruh apapun dalam meningkatkan kematangan spiritual
seseorang.
Para
ulama sufi sepakat bahwa ketekunan dalam beribadah dan berdzikir secara
istikamah, dengan penghayatan dan kekhusyukan hati, merupakan sumber
utama munculnya ilmu wahbi atau ilmu ladunni.
Hal
tersebut sesuai dengan hadis yang ditulis oleh Husain al-Mawarzi dalam
az-Zawa’id, Abu nuaim dalam al-Hilyah, dan Ibnu Adi dalam al-Kamil,
bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Orang yang ikhlas (khusyuk beribadah)
kepada Allah selama 40 hari, maka akan muncul mata air hikmah dari hati
melalui lidahnya.”
Masa
pembiasaan selama 40 hari jika dilakukan dengan penuh ketulusan dan
penghayatan, bisa membawa perubahan pada masa-masa berikutnya. Sehingga,
dalam hadis lain, Rasulullah juga memberikan jaminan terbebas dari
kemunafikan dan neraka bagi orang yang istikamah mengikuti salat jamaah
selama 40 hari berturut-turut, dengan menututi takbiratul ihramnya imam,
dan ikhlas karena Allah.
Keistikamahan
seperti inilah yang bisa memancarkan kesejukan hikmah dan anugerah
agung pada diri seorang salik. Sebab, tanpa keistikamahan, ibadah dan
kebajikan yang kita perbuat tidak lebih dari sekedar memenuhi tuntutan
selera yang muncul sewaktu-waktu, lalu pergi diwaktu yang lain.
Semoga
penjelasan di atas bisa memberikan serta menambah pemahaman Anda
tentang pengertian dan penjelasan Ilmu Laduni. Dengan kuasa Allah, tidak
ada yang tidak mungkin, buktinya juga cukup banyak sejak zaman dulu
hingga sekarang.
Posted On : Selasa, 09 Juni 2015Time : 00.23