Author : Wahyu SaNedaTidak ada komentar
Assalamu'alaikum wr. wb...
Ada anekdot dalam dunia mistis, “Jika
ia mencintai batu maka ia adalah batu. jika ia mencintai manusia maka
ia adalah manusia. Jika ia mencintai Tuhan, maka aku tidak bisa
menjawab. Aku khawatir jika aku menjawabnya kalian akan melempariku
dengan batu“. Demikian gambaran bagaimana rahasia dan
tingginya ajaran tasawuf hingga tidak jalan lain bagi penganut tasawuf
jika membuka ajaran tersebut di muka publik kecuali dimusuhi dengan umat
yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf.
Sebenarnya
kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada
manusia di Arab. Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi Muhammad khusus
kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan
sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran
tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai
simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol
pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak
semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah
satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:
- Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.
- Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.
- Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
- Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
- Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
- Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.
- dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala
Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual
sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah
Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang
diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang
kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali
adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari
Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para
sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir
ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk. Hal
ini dapat juga dilihat dari hampir semua sanad tarikat menyambung
melalui pribadi Ali kwh. satu-satunya sahabat yang pernah berkata
“Bertanyalah kepadaku”, bahkan tentang sesuatu sampai hari kiamat. Dalam
masa ini tasawuf masih belum begitu kentara atau terekspos dalam
sejarah. Kemungkinan riwayat-riwayat tentang tasawuf kalah marak dengan
riwayat tentang masalah suksesi kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw
wafat, masalah hukum fiqh yang menjadi aspek penting dalam kehidupan
umat Islam, dan masalah-masalah lain dalam menyatukan umat Islam yang
baru saja ditinggalkan Nabi Muhammad saw. Namun beberapa riwayat yang
patut diketahui misalnya riwayat terakhir di atas.
Seiring
dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para
raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari
penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan,
filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan
tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang
marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela.
Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah sejalan dengan
semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada aspek-aspek
lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab.
Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam.
Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara
berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani,
Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat
Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada
akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka
menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk
tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.
Pertumbuhan
tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua
penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk
dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah
ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf,
menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru
memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk
‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak
saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual
yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan
dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.
Namun
diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh,
terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran
Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun
semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat Qur’an yang
menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar menempatkan
al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja mereka,
kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam
al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah
bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an
adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya
darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan,
itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri,
sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya
dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang
disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah
yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.
Mengenai
tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak
berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih
teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid
al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,-
tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah
melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat
memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya,
“Untuk keluar dari
keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu
dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.
Lihat
juga berapa rakaat shalat sunah yang al-Hallaj si Hulul dirikan di
dalam penjara sebelum penyalibannya. Bahkan dalam keadaan disalib dan
mendekati ajalnya, Al-Hallaj menyuarakan do’a pada Allah, “Wahai
Tuhan, mereka semua yang sedang berkumpul di sini adalah hamba-hambamu
yang mencoba membunuhku demi kefanatikannya terhadap agama-Mu, dan juga
dengan alasan untuk mendekatkan diri mereka kepada-Mu. Oleh karenanya,
ampunilah mereka semua. Seandainya Kau singkapkan pengetahuan kepada
mereka sebagaimana yang Kau anugerahkan padaku, niscaya mereka tidak
akan bertindak sebagaimana yang dilakukannya padaku ini“.
Begitu pula dengan Ibn ‘Arabi sang Wahdah Wujud, bukanlah ia penganut
mazhab zahiriyah yang hampir selaras dengan madzab Hanbalinya Ibn
Taymiyah. Keteguhan memegang syariat ia lakukannya sekalipun dapat
membahayakan nyawa diri dan muridnya, seperti diceritakan ketika Ibn
‘Arabi berjalan-jalan dengan para muridnya dan bertemu dengan rombongan
khalifah. Ia melarang muridnya memulai salam, – sebagaimana kebiasaan
saat itu,- pada rombongan khalifah yang saat itu mengendarai kuda karena
menurut sunnah Nabi pengendara kuda harus memulai salam terlebih dahulu
kepada pejalan kaki. Diantara amalannya yang diajarkan kepada muridnya,
adalah dzikir agung “La ilah illa Allah”, menjaga kelanggengan wudhu,
melarang rukhshah (mencari kemudahan dalam hukum) dan sebagainya.
“Tak kenal maka tak sayang“,
mungkin pepatah ini pantas ditujukan kepada para penentang tasawuf.
Mereka menentang dengan gigih tasawuf karena belum mengenal, mengetahui,
memahami bagaimana ajaran tasawuf sesungguhnya. Namun begitu mereka
mengetahui maksudnya mereka pasti akan mengikuti dan mengamalkannya.
Demikianlah yang terjadi pada para penentang tasawuf, seperti al-Izz ibn
Abd Salam. Konon dahulu ia pernah mengatakan ketika ia masih
mengingkari komunitas sufi, “Apakah ada jalan lain yang kita punyai selain al-Qur’an dan al-Hadits.”
Namun Tuhan menuliskan takdir lain baginya. Ketika berkecamuk
peperangan melawan orang-orang eropa di wilayah Manshurah dekat teluk
Dimyat, para ulama berkumpul. Saat itu Syaikh Izz al-Din bin Abdul
al-Salam, Syaikh Makin al-Din al-Asmar, Syaikh Taqi al-Din bin Daqiq
al-Id dan kawan-kawannya membuat satu majelis. Di majelis itu terjadi
diskusi yang cukup menarik mengenai kitab al-Risalah al-Qusyairiyah
karya al-Qusyairi. masing-masing memberikan komentarnya tentang materi
yang terdapat di kitab itu. ketika sedang seru-serunya acara diskusi
berlangsung, datanglah syaikh Abu al-Hasan al-Syadzily.
Melihat
kedatangan al-Syadzily, mereka memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan
itu untuk bertanya kepada al-Syadzily. Salah satu dari mereka berkata,
“Kami ingin mendengar dari anda mengenai maksud yang dikandung dari
beberapa bagian dalam kitab ini.” al-Syadzily kaget mendengar permintaan
itu. Merasa tidak pantas menjawab, al-Syadzily berkata, “Anda semua
adalah orang-orang yang mendapat julukan Syaikh al-Islam dan para
pembesar ulama zaman ini. Anda semua telah memberikan semua komentar
anda, sungguh sudah tidak ada lagi bagi orang seperti ruang untuk
mengomentarinya.”
Mereka
tetap mendesak al-Syadzily untuk memenuhi permintaan mereka itu. Mereka
berkata, “Tidak begitu, justru kami tetap ingin mendengar komentar
anda. Silakan berikan komentar anda.” Didesak begitu, al-Syadzily dengan
memuji kepada Allah swt, memulai komentarnya. Di sela-sela al-Syadzily
memberikan komentarnya, tiba-tiba syaikh Izz al-Din bin Abdul al-Salam
menjerit dari dalam kemah dan kemudian keluar memanggil-manggil dengan
suara yang keras, “Kemarilah! Kemarilah! Dengarkan semua apa yang dikatakan al-Syadzily. Ini adalah suatu perkataan yang begitu dekat dengan Allah.“
“Semoga
Allah swt menjadikan anda dan kami sebagai golongan orang-orang yang
membenarkan wali Allah swt, dan meyakini karamah-karamah atas anugerah
dan karunia-Nya.” Demikianlah doa Ibn Arabi dalam korespondensinya
dengan Fakhr al-Din al-Razy, penulis tafsir Mafatih al-Ghayb.
Posted On : Selasa, 09 Juni 2015Time : 05.39